- Hukum Perjanjian
Peranan hukum yang kuat sangat dibutuhkan oleh suatu Negara untuk mewujudkan
situasi Negara yang kondunsif dan berkomitmen.Indonesia merupakan salah satu
Negara hukum dimana setiap tata cara pelaksanaan kehidupan didalamnya
berlandaskan hukum.Mulai dari yang berbentuk tertulis maupun yang berbentuk
abstrak.Dan dimana hukum tersebut dijalankan oleh pemerintah dan rakyatnya.
2.
Apa
Itu Hukum Perjanjian?
Salah satu bentuk
hukum yang berperan nyata dan penting bagi kehidupan masyarakat adalah Hukum
Perjanjian.Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat adanya suatu
pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain.Atau dapat juga dikatan hukum
perjanjian adalah suatu hukum yang terbentuk akibat seseorang yang berjanji
kepada orang lain untuk melakukan sesuatu hal.Dalam hal ini,kedua belah pihak
telah menyetujui untuk melakukan suatu perjanjia tanpa adanya paksaan
maupun keputusan yang hanya bersifat sebelah pihak.
3.
Kenapa
Diciptakan Hukum Perjanjian?
Dapatkah anda
membayangkan resiko apa yang akan terjadi pada transaksi pinjam meminjam
apabila tidak ada perjanjian yang jelas?Salah satu kemungkinan yang akan
terjadi adalah salah satu pihak akan mangkir dari tanggung jawab untuk membayar
kewajibannya.Inilah salah satu penyebab mengapa dikeluarkannya hukum
perjanjian.Hukum perjanjian dikeluarkan dengan tujuan agar semua proses
kerjasama yang terjadi dapat berjalan dengan lancar dan untuk mengurangin
resiko terjadinya penipuan atau hal apapun yang beresiko merugikan salah satu
pihak.Peranan hukum disini adalah sebagai pengatur atau sebagai penunduk para
pelaku hukum agar tetap bertindak sesuai peraturan yang telah ditentukan,dan
tentunya peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang berlandaskan UUD.contohnya
Pasal 13 ayat 20 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
4.
Untuk
Siapa Hukum Perjanjian Di Tujukan?Dan Kapan Terjadinya?
Hukum perjanjian
dilakukan oleh dua pihak yang saling bekerjasama.Ketika merka sepakat untuk
melakukan kerja dengan disertai beberapa syarat(perjanjian) maka pada saat itu
sudah terjadi hukum perjanjian.Sebagai contoh dan untuk memudahkan dalam
penalaran,misalnya pada pasar uang hukum perjanjian dilakukan oleh kedua belah
pihak,yaitu investor dan emiten.Dikeluarkannya hukum perjanjian adalah untuk
melindungi investor dari berbagai resiko yang mungkin akan terjadi.Hukum
perjanjian tidak hanya menyangkut masalah ekonomi.Hukum perjanjian juga
mengatur berbagai kerjasama yang menyangkut dua pihak yang terkait.Misalnya hubungan
antar Negara(bilateral maupun multilateral),pengalihan kekuasaan,mengatur harta
warisan,perjanjian kontrak kerja,perjanjian perdamaian. Di Indonesia,tidak
semua perjanjian yang isinya merupakan kesepakan murni antara dua belah
pihak.Tetapi ada juga beberapa perjanjian yang didalamnya terdapat campur
tangan pemerintah.
5.
ASAS DALAM HUKUM KONTRAK
·
Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang
berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak
yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak, artinya : apa yang dikehendaki
oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu
bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua
belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”,
“accord”, “oke” dan lain-lain sebagainyaataupun dengan bersama-sama manaruh
tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa
kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
Bahwa apa yang dikehendaki
oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa
kehendak mereka adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa
yang mereka kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”, misalnya : yang satu
ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang asal diberi sejumlah uang
tertentu sebagai gantinya, sedangkan yanglain ingin memperoleh hak milik atas
barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang dosebutkan itu
sebagai gantinya kepada pemilik barang.
Dari mana dapat kita ketahui atau kita
simpulkan bahwa hukum perjanjian B.W. menganut asas konsensualise itu? Menurut
pendapat kami, asas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal
yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari
pasal 1338 (1) sepertidiajarkan oleh beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338
(1) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan
untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan
suatu undang-undang.
·
Asas Pacta Sunt
Servanda
Pacta Sunt Servanda (aggrements
must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian
menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini
menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina
1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the
parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap
perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).
Pacta sunt Servanda pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang
kemudian mencari dasar pada sebuah hukum perikatan dengan mengambil
pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa seseorang yang mengikatkan
diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promissorum
implendorum obligati).
Menurut Grotius, asas pacta sunt
servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah
menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan, yaitu :
1.
Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan
orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada
gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
2.
Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak
milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk
melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan
haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.
·
Kebebasan Berkontrak
Yang dimaksud dengan asas kebebasan
berkontrak atau yang sering juga disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya
kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat
untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Penegasan
mengenai adanya kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga
dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang
sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua
perjanjian yang dibuat secara sah.
Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan ber- kontrak (beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekankan pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita. sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum dan kesusilaan".
Menurut Mariam Darus Badrulzaman "Semua" mengandung ,irti meliputi seluruh perjanjian, balk yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat.
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat
penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari
kehendak bebas, pancaran hak asasi.
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia
meliputi ruang lingkup sebagai berikut:
a. Kebebasan
untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan
untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan
untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
d.Kebebasan untuk
menentukan objek perjanjian.
e.Kebebasan untuk
menentukan bentuk suatu perjanjian.
f.Kebebasan untuk
menerima atau menyimpangi ketentuan undangundang yang bersifat opsional
(aanvullend, optional).
Lebih lanjut Sutan Remy Sjandeini mengemukakan, dari
mempelajari hukum perjanjian negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas
kebebasan berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum
perjanjian negara-negara lain, mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga
ruang lingkup asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia.
Kebebasan berkontrak atau freedom of contract harus
dibatasi bekerjanya agar kontrak yang dibuat berlandaskan asas itu tidak sampai
merupakan perjanjian yang berat sebelah atau timpang. Apakah memang asas
kebebasan berkontrak dapat bekerja secara bebas mutlak? Bila kita mempelajari
pasal-pasal KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas
mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata
terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak tidak
terbatas, antara lain Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan ayat (4). Pasal 1332,
Pasal 1337 dan Pasal 1338 ayat (3).
Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa
hukum perjanjian dikuasai oleh "asas konsensualisme". Ketentuan Pasal
1320 ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak
untuk menentukan isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata,
lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme.
Dari Pasal 1320 ayat (2) dapat pula
disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat kontrak dibatasi oleh
kecakapannya untuk membuat kontrak. Bagi seseorang yang menurut ketentuan
undang-undang tidak cakap untuk membuat kontrak, sama sekali tidak mempunyai
kebebasan untuk membuat kontrak.
Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 menentukan bahwa para pihak
tidak bebas untuk membuat kontrak yang menyangkut causa yang dilarang oleh
undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan
ketertiban umum. Kontrak yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh undang-undang
atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum
adalah tidak sah.
Pasal 1332 memberikan arch mengenai
kebebasan pihak untuk membuat kontrak sepanjang yang menyangkut objek kontrak.
Menurut Pasal 1332 tersebut adalah tidak bebas untuk memperjanjikan setiap
barang apa pun. Menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai
eknomis saja yang dapat dijadikan objek perjanjian atau objek kontrak.
Pasal 1338 ayat (3) menentukan tentang berlakunya "asas
itikad baik" dalam melaksanakan kontrak. Berlakunya asas itikad baik ini
bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu kontrak dilaksanakan, melainkan juga
sudah mulai bekerja pada waktu kontrak itu dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang
dibuat dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka
perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, asas itikad baik mengandung
pengertian bahwa kebebasan suatu pihak membuat perjanjian tidak dapat
diwujudkan sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.
Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata
pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya
kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan
ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para. pihak yang membuat
kontrak tidak sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang
tidak sama.
REFFERENSI ;
0 komentar:
Posting Komentar